Sebuah negara walaupun basisnya ide haruslah disusun atas tata ruang fisik yang benar. Tata ruang dalam sebuah daerah harusnya memikirkan bagaimana kondisi manusia apabila berperilaku nantinya di sana. Anggap saja misalnya tata kota yang harus mengikuti cara agar masyarakat mudah bersinergi. Kita bisa melihat pada rancangan bangunan kota.
Di setiap kota besar, biasanya ada lapangan-lapangan besar yang memudahkan orang berkumpul dan dikelilingi tempat yang penting. Misalkan kita melihat tata letak jakarta. Di tengah Monas, kita melihat ada stasiun besar yang mempermudah akses orang untuk masuk ke pusat kota. Dari sini, hampir semua layanan transportasi terkoneksi satu sama lain ke tempat- tempat yang lebih terpelosok lagi, hingga ke Depok, Bekasi, dll. Di pusat kota ini banyak gedung pemerintahan, toko, tempat makan, publik space, hingga irisan transportasi umum, seperti halte-halte bus umum. Tidak jauh dari Monas pun, di jalan Sudirman kita bisa melihat kereta api bandara bersandar, sehingga orang yang datang jauh dari kota bisa landing dan mengakses kota dengan mudah. Inilah bentuk tata kota yang menjadi anti thesa dari forbiden city. Tata kota yang mudah diakses masyarakat adalah tata kota yang berdasarkan pemerintahan yang demokratis.
Kalau dalam konteks demokrasi, maka tata kota yang baik pasti membuat masyarakatnya mudah mengawasi pemerintahannya. Gedung-gedung pemerintahan yang terdapat lapangan di depannya biasanya bisa diperuntukan untuk masyarakatnya berdemonstrasi dengan tertib. Apabila tempat pemerintahan sulit diakses, tentu saja potensi chaos dan kebuntuan akses semakin besar kemungkinannya. Selain itu, tata kota juga menjadi tempat bagi banyak budaya setempat berkembang. Kita ambil contoh kota besar seperti Paris. Di kota itu, pusat kota haruslah dihuni oleh bangunan yang asli yang mencirikan Paris di jaman dahulu. Semakin menjauh dari lingkaran pusat kota, maka bangunan-bangunan semakin leluasa untuk memasukan unsur-unsur modern. Hal ini bertujuan karena pusat kota di negara maju banyak yang menjadi etalase budaya setempat.
Dari semua keterangan tadi, maka kita bisa menyimpulkan bahwa sebuah tata letak perkotaan itu akan berguna sebagai:
- Tempat yang mudah diakses oleh masyrakat. Sebagai negara demokrasi, seharusnya sebuah kota tidak sulit diakses siapapun. Transportasi menjadi point penting untuk masyarakat masuk ke kota.
- Tempat yang mempermudah masyarakat memperoleh kebutuhannya. Dasar dari pembentukan kota adalah sebagai pusat distribusi kesejahteraan. Dia harus memiliki tempat untuk berkumpul, mencari logistik, mencari kebutuhan sandang, mendapatkan kemudahan untuk mengakses birokrasi, dll.
- Tempat untuk menunjukan identitas kedaerahannya. Pusat kota seharusnya menjadi gambaran identitas siapa kota itu, bagaimana sejarahnya, bagaimana budayanya, dan bagaimana kota itu menghargai warganya.
Ketiga hal itu biasanya memang menjadi ciri khas sebuah kota, tetapi di negara maju seperti Amerika Serikat, kota memiliki identitasnya masing-masing, tidak hanya seperti tiga yang disebutkan tadi. Hal ini karena ruang di sebuah negara harus memiliki konektivitasnya satu sama lain.
Kita ambil contoh kota-kota di Amerika Serikat. Di sana, kota memiliki identitas yang jelas. Boston adalah kota pendidikan dan budaya, Washington DC adalah kota pemerintahan, Detroit adalah kota industri berat, Las Vegas kota hiburan, Austin adalah kota industri kreatif, Silicon Valley adalah kota industri digital, dan banyak lagi kota di sana yang memiliki identitasnya masing- masing. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang baik karena negara yang memiliki identitas kota yang berbeda-beda akan semakin mudah meningkatkan sinergi antara satu kota dengan kota lainnya.
Selain itu, hal ini mempermudah komunitas setempat untuk mengembangkan industrinya. Mungkin kita bisa mengambil contoh seperti ini, mengapa Steve Jobs, Steve Wozniak, dan banyak lagi anak muda di Palo Alto bisa dengan mudah menjadi seorang ahli komputer? Karena di Palo Alto, komputer dan teknologinya sudah seperti hiburan anak muda. Palo Alto adalah daerah industri komputer. Semua masyarakat sana dekat dengan identitas kota itu. Tidak anehlah dari tempat ini muncul Steve Jobs hingga Bill Gates yang akhirnya menjadi simbol komputer modern dunia.
Dengan majunya daerah perkotaan beserta industrinya, dalam catatan beberapa negara, hal ini membuat migrasi dari desa ke kota semakin besar. Permasalahan pun timbul, dengan semakin mudahnya akses ke kota, maka banyak orang desa mudah merantau ke kota. Hal ini membuat urbanisasi yang ujungnya menjadi ancaman bagi kehidupan manusia baik di perkotaan atau di desa, karena urbanisasi mengakibatkan ketimpangan kesejahteraan serta gap nilai yang besar antara desa dan kota menjadi besar. Di kota yang individualis dan memegang nilai modern kadang membuat orang desa merasa bahwa orang kota tidak bernilai dan tidak menyadari bahwa saling membantu adalah cara hidup yang benar.
Di luar itu benar atau tidak, di banyak kajian yang memang mengatakan bahwa perkembangan urbanisasi di negara besar seperti China pun timbul banyak sekali masalah. Mulai dari masalah kelayakan hidup karena di kota yang padat penduduknya, ketimpangan desa dan kota yang semakin besar, orang-orang tua di desa yang ditinggal oleh anak mudanya ke kota banyak yang terlantar, dan lain sebagainya.
Dari sini kita bisa mempunyai dua pilihan: Pertama, apakah sebaiknya desa diubah seperti kota, sehingga orang desa tidak perlu lagi pergi ke kota. Kedua, apakah desa akan kita bentuk sebagai sebuah tempat yang khusus, di mana desa dijadikan tempat produksi pangan, produksi kerajinan, bahkan mungkin produksi dalam industi kreatif, sedangkan kota akan menjadi pusat ditribusinya baik untuk lokal maupun internasional. Dengan demikian, produk murah bisa bersaing dengan negara lain.
Dari kedua hal itu, menurut saya pilihan kedua merupakan pilihan yang paling bijak. Mengubah desa menjadi “kota wannabe” bukanlah pilihan yang tepat.
Desa memiliki nilai dan budaya sendiri yang berbeda dengan kota. Desa memiliki potensi yang besar yang sayang apabila dihilangkan hanya karena suatu pemikiran bahwa desa sebaiknya menjadi kota.
Pertanyaan besarnya sekarang ada tiga.
- Apakah kota itu didesain untuk bisa diakses oleh semua orang? Sebagai
manusia Indonesia, kita mempunyai hak untuk mengakses ruang. Secara kasat mata memang kota seperti Jakarta tidak bisa disebut sebagai kota yang berpihak pada rakyat kecil. Untuk ukuran Indonesia, harga transportasi di Jakarta masih tidak bisa dibayar oleh mayoritas orang dari pedesaan. Tempat makan, hotel, dan banyak lainnya di pusat kota Jakarta yang hanya bisa diakses oleh kalangan berduit. Apakah ini membuktikan bahwa di Indonesia masalah hak atas ruang masih dinikmati oleh kalangan tertentu? - Apakah pembangunan desa bisa dilakukan seperti kita membangun kota, dengan membuka akses transportasi, memperbanyak ruang untuk warga berkegiatan, dan mempertebal budaya dan seni di daerah desa tersebut melalui desain bangunan dan hal lainnya?
- Apakah dengan ketimpangan antara desa dan kota yang besar, maka membuka desa agar lebih accessable bisa mengakibatkan desa dieksploitasi habis-habisan oleh masyarakat kota?
Membuka desa untuk berhadapan dengan kota tentu harus dilakukan secara hati- hati. Ada suatu kejadian di suatu daerah, mungkin bisa kita jadikan bahan kajian. Di daerah tersebut, tanah desa banyak yang kosong. Salah satu sebabnya adalah tanah di sana berbentuk lereng, sedangkan mayoritas warganya adalah petani. Lereng memang tidak diperbolehkan untuk ditanami tanaman yang kecil, karena lereng membutuhkan tanaman besar untuk menahan air. Ketika desa itu dibuka aksesnya, maka lereng-lereng ini akhirnya dialihfungsikan. Untuk menambah pendapatan, maka surat hak guna dibeli oleh mayoritas orang kota dan orang desa yang di sana menjadi petaninya. Dari satu peristiwa ini pun sudah ada beberapa masalah, pertama korupsi jual beli surat ijin pengelolaan tanah, eksploitasi alam yang membuat desa menjadi banjir, dan penduduk desa yang tidak lagi menjadi tuan di tanah kelahirannya.
Membuat perkotaan yang memiliki spesifikasi sendiri sebagaimana kota di Amerika, membuat desa menjadi supporting utama masyarakat kota, dan menghubungkan semua daerah di Indonesia dalam satu sinergi apabila kita meminjam istilah Yuval maka ini adalah suatu konsep kerja sama yang intelek. Pekerjaan rumah Indonesia terbesar adalah membuat konektivitas antar daerah sehingga semua bersinergi dalam tiga tujuan, membuat pemerataan kesejahteraan, membuat Indonesa semakin berdaya saing tinggi, dan mencerdaskan bangsa melalui kemunculan spesialisasi dan generalisasi yang dibutuhkan oleh negeri ini.