Negara berpendidikan apakah tergantung dan bergantung pada para pendirinya?
Amerika Serikat memiliki tujuh tokoh pendiri utama atau founding fathers. Menurut sejarawan Richard B. Morris, nama tersebut adalah John Adams, Benjamin Franklin, Alexander Hamilton, John Jay, Thomas Jefferson, James Madison, dan George Washington. Dari ketujuh nama tersebut, apabila kita amati maka ada tiga karakter yang sama antara satu sama lainnya.
Pertama, mereka merupakan founding fathers yang sangat terkenal yang berfungsi untuk melakukan lobi pada tingkat dunia. Kedua, founding fathers ini adalah orang-orang yang kaya, di mana beberapa diantaranya ketika terpilih menjadi pemimpin, banyak menyumbangkan hartanya untuk masyarakat Amerika Serikat. Sebagai contoh, George Washington menyumbangkan kebunnya yang berhektar-hektar untuk menjadi area publik. Dan ketiga, mereka semua memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Dari beberapa kesepakatan mereka, akhirnya didirikan banyak universitas dari keilmuannya, dan dananya berasal dari mereka sendiri. Ambil contoh Benjamin Franklin yang mendirikan University of Pennsylvania yang berfokus pada perdagangan dan pendidikan praktis. Franklin sendiri dikenal sebagai penemu dengan 1750 lebih penemuannya. Permasalahan dia adalah ketidakmampuannya untuk menuliskan dalam bentuk jurnal yang baik dan sistematika laboratorium yang memenuhi standar, sehingga namanya tidak sebesar Einstein atau penemu besar dunia lainnya. Mungkin publik juga bisa mengingat nama Thomas Jefferson sebagai salah satu penemu besar Amerika yang juga menandatangani The Declaration of Independence.
Dengan begitu, tidak aneh apabila Amerika Serikat memiliki banyak nama besar di dunia pendidikan. Budaya intelektual sudah menjalar hingga ke semua sisi kehidupan masyarakat karena dasar yang dibangun oleh founding fathersnya adalah dunia pendidikan. Semua bidang di sana dimasuki dunia akademis. Seni dibesarkan di universitas, agama berbalut intelektualitas, hingga politik pun tidak hanya terpaku pada politik praktis tetapi juga melibatkan dunia akademis untuk menyaring debat dan ide para pemimpin politik. Debat-debat kampanye banyak yang disaring dan dimasukkan ke dalam pelajaran di kelas dengan diskusi yang intens.
Indonesia pun dibangun oleh founding fathers yang sebenarnya tidak kalah intelek. Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Agus Salim adalah pembaca buku yang sangat handal. Mereka bukanlah intelektual kelas dua. Dengan banyaknya akses dunia pendidikan hingga keluar negeri, maka para pembelajar Indonesia ini mengasah dirinya untuk memiliki pengetahuan kelas dunia. Alhasil dalam konstitusi kita yang mereka susun, kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan bangsa adalah mutlak.
Melihat perbandingan dua negara itu, kita bisa menyimpulkan bahwa dunia pendidikan memang harus diurusi oleh negara dan menjadi hak mutlak bagi warganya untuk mampu mengaksesnya.
Bagaimana dengan pendidikan di Indonesia?
Tentu saja kita akan mengakui bahwa negara ini tertinggal di bidang pendidikan. Peringkat PISA Indonesia jauh berada di bawah negara lain. Hal ini menandakan siswa di negara ini tidak mampu menyerap pendidikan dengan baik. Masalahnya pun beragam, mulai dari masalah kualitas guru, bahan ajar, infrastruktur, buku, dan lain sebagainya. Dengan banyaknya penduduk dan luasnya negara kita, seringkali kita dapati guru yang mengajar adalah pendidik yang seadanya. Kita tidak mampu menyaring orang-orang hebat di negeri ini untuk menjadi pendidik yang berkualitas. Para intelektual Indonesia lebih suka menjadi profesional yang bergaji tinggi dibandingkan menjadi orang yang berkesempatan menggali dan menyalurkan ilmu pengetahuan. Bagaimanapun juga, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu dibutuhkan pengorbanan dan dukungan negara. Hal inilah yang membuat orang seperti Franklin dan Jefferson sadar, bahwa dukungan pemimpin negeri sangat penting, sehingga awal-awal Amerika Serikat berdiri para founding fathersnya membangun dunia pendidikan melalui intelektualnya dan kekayaannya sendiri.
Dengan kesamaan founding fathers yang mencintai ilmu pengetahuan ini, mengapa Indonesia dan Amerika Serikat memiliki hasil yang berbeda jauh di bidang pendidikan? Hal ini mungkin sekali dikarenakan pemerintahan presiden Soeharto banyak menutup akses pendidikan dari dunia luar. Negara yang berbentuk otoriter memang tidak akan terbuka pada ilmu pengetahuan, karena mereka hanya menerima ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhannya saja. Dalam ilmu sosial misalnya, bagaimana paham komunisme, sosialisme, dan sebagainya tidak boleh diajarkan selama kepemimpinan Soeharto. Padahal, paradigma Max Weber dan Karl Marx adalah pemikiran yang membentuk luasnya dunia sosial seperti sekarang ini. Apabila pemerintah melarang siswanya mempelajari Marxisme, maka bisa dibayangkan berapa banyak teori dan metode sosial yang akhirnya hilang dalam dunia pendidikan. Padahal, hal ini sangat penting untuk pengembangan masyårakat dan ilmu pengetahuan.
Hal lainnya adalah bagaimana negara otoriter butuh mengontrol secara ketat teknologi yang masuk ke negaranya. Kita lihat saja di Tiongkok atau Korea Utara, bagaimana teknologi seperti Google sangat dibatasi. Media sosial diawasi sangat ketat dan akhirnya pertukaran pengetahuan di antara warganya menjadi terhambat.
Kehidupan kita yang penuh dengan permasalahan seperti misalnya kesejahteraan, pertambahan penduduk, climate change, dan masalah lainnya membutuhkan banyak solusi besar. Solusi ini adalah hasil dari perdebatan besar kalangan akademis untuk melahirkan inovasi-inovasinya. Dengan dibatasinya percakapan antarwarga negara, maka bisa dipastikan bahwa rakyat yang dirugikan. Dunia kita menjadi mandek dan banyak permasalahan kemudian menjadi bom waktu yang menunggu untuk meledak.
Jika ada potensi menjadi negara otoriter, maka biasanya negara besar membuka sistem bernegaranya agar tidak anti kritik dan menerima banyak perubahan dari luar. Para founding fathers kita paham, bahwa di zaman penjajahan pun semuanya serba tertutup dari akses pengetahuan, hal ini membuat masyarakat menjadi bodoh dan miskin. Membuka akses dunia pendidikan adalah hak warga negara, karena warga negara adalah manusia potensial yang menjadi problem solver di lingkungannya.
Karena itulah, di negara besar, dan kalau Indonesia mau jadi negara besar, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan hak akses atas pendidikan adalah wajib sifatnya.