Media sosial kini bertambah satu lagi dalam bentuk Threads. Hal ini tentu saja menguntungkan kita dalam satu sisi, karena informasi akan jauh lebih tersebar dan terdistribusi. Akan tetapi, problemnya akan muncul apabila kita melihat Meta sebagai sebuah perusahaan berada di belakang mereka.
Di tengah runtuhnya bisnis digital, Meta menjadi perusahaan yang superpower. Banyak perusahaan startup IT akhirnya harus gulung tikar, salah satunya adalah industri media sosial. Setiap perusahaan media sosial harus mempunyai diferensiasi yang tajam. Kita dulu masih ingat Path. Menurut beberapa analisis, salah satu yang mengakibatkan Path langsung terjun bebas dari trendnya karena dia menambah jumlah pertemanan yang tadinya hanya dibatasi 150 orang pertemanan saja. Angka ini menjadi menarik karena kita biasanya hanya mempunyai 150 orang dalam circle terdekat kita. Di layar kita secara eksklusif muncul aktivitas sesama circle kita. Tidak ada hujatan dan nyinyiran dari orang asing yang tidak kita kenal dan tidak mengenal kita.
Path adalah sebuah media sosial yang sehat. Namun, hal ini menjadi berubah ketika Path mencoba menjadi Facebook dengan jumlah pertemanan dan fitur yang banyak kemiripan. Sebegitu sensitifnya kompetisi di dunia barat. Akan tetapi, dari sini kita mulai paham bahwa di satu sisi akan menjadi sangat bahaya ketika kita mengamati bagaimana Facebook mulai mengakuisisi Instagram. Kemudian Facebook membeli WhatsApp. Dengan kebesarannya, kini dia mulai memproduksi Threads yang mirip dengan Twitter. Nah bayangkan bagaimana Meta berubah menjadi perusahaan seperti negara tanpa pasukan. Hal ini tentu mengerikan di tengah demokrasi yang baru tumbuh.
Meta adalah perusahaan yang paling sering digunakan oleh politisi untuk mencari pengaruh elektoral. Deal politik dan kebijakan pun ada di Meta. Bagaimana Meta sewaktu pemilu Donald Trump iklan politiknya mampu memenangkan Donald Trump. Dengan monopoli data dan akses, maka kebutuhan untuk memiliki persaingan sehat harus dilakukan melalui policy.