Banyak dari kita mungkin masih ingat, ketika tahun 2019 lalu, ada protes mengenai rancangan undang-undang RKUHP yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Ketua BEM UI saat itu berbicara keras kepada anggota DPR. Kini, ketua BEM itu sedang mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Jakarta.
Jika ditelusuri, fenomena demonstran yang menjadi anggota legislatif sudah cukup banyak. Di tahun 1998 pun, para demonstran saat itu banyak yang menjadi anggota legislatif. Dulu mendemo kini didemo. Hal ini biasa, karena demonstran pada hakekatnya adalh manusia politik. Saya sendiri hidup dan besar dalam mimpi politik. Buat saya, politik adalah ilmu yang bisa digunakan untuk membantu masyarakat mendapatkan kesejahteraan dan kecerdasannya.
Sulitnya menjadi politisi setelah selesai menjadi demonstran adalah beban moral di mana kita dituntut untuk konsisten terhadap apa yang kita pikirkan dahulu. Dunia memang berubah, tidak terkecuali kondisi politik. Masuk dalam politik praktis tentu saja kita harus bersifat pragmatis yang etis dan intelek. Mungkin banyak yang berpikir bahwa saya terlalu utopis dalam proses menjadi politisi, tetapi seperti kata seorang demonstran, kita harus tetap idealis sejauh mungkin kita bisa.
Tentu saja menjadi politisi itu bebannya berat. Tetapi, untuk tidak terjun ke dunia politik juga menjadi pilihan yang konyol. Seseorang yang lahir dalam ide politik tidaklah aneh untuk menjadi politisi. Mungkin ini bukan apologi, tetapi saya bisa mengandaikan seperti ini. Ketika Greta Thunberg mendapatkan kesempatan untuk berbicara di New York mengenai pergerakannya tentang climate change, dia mendatangi kota New York sambil menaiki perahu layar. Dia tidak ingin mencemari dunia dengan naik pesawat. Hal itu baik, tetapi bayangkan, apabila dia melakukan hal ini sedangkan secara strategis, dia bisa mendatangi acara begitu banyak jika menggunakan pesawat, berapa besar kesempatannya untuk melakukan perubahan menjadi hilang? Seandainya dia mau naik pesawat dan sanggup mendatangi banyak konferensi perubahan iklim, tentu banyak lagi masyarakat yang bisa dibantu walaupun harus mengotori langit dengan pesawat.
Hal ini hanya suatu pertimbangan praktis. Pun demikian dengan saya berpolitik. Di dalam politik Indonesia yang berkembang, tentu saya harus memilih prioritas dan strategi yang bisa dilakukan. Undang-undang Desa adalah pilihan saya. Walau banyak lobi dan kekurangan di sana-sini, tetapi pilihan saya menjadi politisi tentu lebih baik dibandingkan saya tidak melakukan apa-apa. Ada batas yang kita harus buat apabila ingin berpolitik praktis. Yang jelas minimal menjadi bersih itu prinsip saya.