Layaknya sebuah perjalanan, selalu ada titik awal dimana perjalanan itu dimulai. Barangkali titik akhirnya belum diketahui pasti, tetapi ada masa-masa dalam garis (kumpulan titik) kehidupan yang dicetak tebal oleh anak manusia dan dianggap sebagai penanda titik balik kehidupannya. Demikian pula buku autobiografi salah satu tokoh politik muda Indonesia, Budiman Sudajtmiko, ini mencoba hadir tidak saja sebagai bentuk perlawanan terhadap amnesia sejarah, tetapi juga sebagai catatan perjalanan seorang anak manusia yang entah kebetulan atau sengaja menceburkan dirinya dalam pusaran gerakan politik yang kemudian turut menumbangkan rezim orde baru.
Sebagai biografi yang dikemas bak sebuah novel sejarah, buku ini telah berhasil memikat pembaca dengan gaya tutur penulisnya yang mengalir lancar dan mudah dicerna. Wawasan penulisnya yang demikian luas menjadikan setiap plot cerita yang diangkat tidak monoton dan membosankan. Budiman juga dengan lihai menyelipkan cerita di dalam cerita, sehingga membaca lembar demi lembar buku ini serasa dibawa ke dalam labirin pengalaman, perasaan dan intelektualitas seorang Budiman Sudjatmiko yang mungkin tidak banyak orang tahu. Stempel “kiri”, pemberontak, antek komunis, dan pembangkang yang dilekatkan demikian erat oleh rezim Orde Baru, baik terhadap pribadinya maupun organisasi politiknya saat itu (PRD), akan luntur manakala kita tahu bagaimana perjalanan dari masa kecil, remaja hingga keputusan-keputusan politik dan personalnya itu diambil. Selalu ada sebab sebelum akibat.
Dengan alur mundur, buku pertama ini setidaknya terbagi ke dalam tiga narasi besar, yaitu catatan dalam “peristiwa 27 Juli” hingga masa-masa persidangan di pengadilan, masa kecil hingga remaja dari tokoh utamanya dan – yang cukup menarik – adalah kisah asmara sang tokoh yang “platonis” dan sang tokoh digambarkan sebagai sosok lelaki yang “hampir terlambat untuk dicintai seorang perempuan”. Kegalauan seorang aktivis pergerakan diantara perjuangan dan pengkhianatan yang silih berganti, ditambah dengan deskripsi empiris tentang kekejaman rezim otoriter serta bumbu kisah percintaan yang sedikit tetapi mengena, menjadikan buku ini layak dan wajib dibaca untuk generasi muda yang senantiasa berada di persimpangan pilihan. Berjuang untuk sesuatu yang engkau yakini benar, mungkin akan menuntunmu pada kekalahan yang sangat pahit, tapi tak lama kemudian kemenangan besar akan engkau raih jika terus konsisten pada jalan dan pilihan itu, demikian kira-kira pesan tersirat dari buku ini.
Memang banyak buku-buku legendaris dari kalangan aktivis muda yang pernah terbit sebelumnya, sebutlah “catatan harian seorang demonstran”-nya Soe Hok Gie atau “pengadilan Hariman Siregar” yang selalu bisa memberikan perspektif lain dari yang ditawarkan oleh penguasa. Buku ini juga memiliki kekuatan yang sama untuk mengajak kita melihat suatu peristiwa politik dari spektrum yang berbeda. Namun demikian, setiap jaman memiliki tantangannya masing-masing. Setiap era membutuhkan jalan keluar dari masalah-masalah spesifik yang dihadapinya. Walaupun demikian, sejarah tetaplah menjadi guru terbaik yang tidak pernah mengeluh walaupun ia dilupakan. Lewat buku ini kita juga diajak untuk belajar dari kisah perjalanan hidup orang-orang besar yang tentu saja adalah idola dari penulisnya. Meskipun dalam beberapa penuturan terkesan sangat teoritis dan cenderung seperti perkuliahan pengantar sosiologi, tetapi memang tidak ada pilihan lain dari penulisnya selain mengutip gagasan-gagasan besar para tokoh itu, bukan saja sebagai pengetahuan tetapi lebih dari itu untuk membangkitkan kesadaran kita sebagai pewaris sah tanah air dan republik ini agar terus bergerak dan tetap progresif dalam merawat serta mendewasakan demokrasi.